Kamis, 29 Desember 2011

TATA CARA PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER - 38/PJ/2011

TENTANG

TATA CARA PENGANGSURAN DAN
PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum terkait pengangsuran dan penundaan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan serta meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak;
  2. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, terhadap ketentuan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  3. Bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 mengenai pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;

Mengingat

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 167/PMK.03/2007 tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010;


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.


Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  2. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  3. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
  4. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat dengan SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang kepada Wajib Pajak.
  5. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang PBB.
  6. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan STP PBB adalah Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang PBB.
  7. Utang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Utang PBB adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang masih harus dibayar termasuk denda administrasi yang tercantum dalam SPPT, SKP PBB, dan/atau STP PBB.
  8. Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang selanjutnya disebut dengan KPP Pratama adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tempat objek pajak terdaftar.
  9. Tahun Pengalihan adalah tahun dialihkannya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, paling lambat tahun 2014.


Pasal 2

Utang PBB yang tercantum dalam:
  1. SPPT, harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak;
  2. SKP PBB, harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak;
  3. STP PBB, harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP PBB oleh Wajib Pajak.


Pasal 3

(1) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu STP PBB yang terbit akibat pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang PBB.
 

Pasal 4

Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diajukan oleh Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas, kesulitan keuangan, atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.


Pasal 5

(1) Pengangsuran atas pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan dengan ketentuan:
  1. jangka waktu pengangsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya surat keputusan dengan pengangsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan; dan
  2. masa pengangsuran dimulai setelah jatuh tempo SPPT, SKP PBB, atau STP PBB.
(2) Penundaan atas pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya surat keputusan.
(3) Dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan akan dialihkan menjadi pajak daerah, jangka waktu pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang PBB dapat diberikan paling lama sampai dengan akhir Desember sebelum Tahun Pengalihan.


Pasal 6

(1) Besarnya pembayaran angsuran atas Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan dalam jumlah yang sama besar untuk setiap angsuran.
(2) Besarnya pelunasan atas penundaan pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan sebesar Utang PBB yang ditunda pembayarannya.


Pasal 7

Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus memenuhi persyaratan:
a. satu surat permohonan untuk satu SPPT, SKP PBB, atau STP PBB;
b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Pratama, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan;
c. mencantumkan:
  1. jumlah Utang PBB yang dimohonkan pengangsuran pembayarannya, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau
  2. jumlah Utang PBB yang dimohonkan penundaan pembayarannya dan jangka waktu penundaan;
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP;
e. diajukan paling lambat 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, kecuali apabila Wajib Pajak atau kuasanya dapat menunjukkan bahwa batas waktu pengajuan tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;
f. tidak memiliki tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan tahun-tahun sebelumnya;
g. dilampiri fotokopi SPPT, SKP PBB, atau STP PBB, yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan.


Pasal 8

(1) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala KPP Pratama, kecuali apabila Kepala KPP Pratama menganggap tidak perlu.
(2) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, dan/atau sertifikat deposito.


Pasal 9

(1) Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dianggap bukan sebagai surat permohonan pengangsuran atau penundaan sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
(2) Dalam hal permohonan pengangsuran atau penundaan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP Pratama dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus memberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari kepada Wajib Pajak atau kuasanya.
(3) Dalam hal permohonan pengangsuran atau penundaan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan kembali sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.


Pasal 10

(1) Setelah meneliti dan mempertimbangkan permohonan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Kepala KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat permohonan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(3) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala KPP Pratama tidak memberikan keputusan, permohonan dianggap diterima dan diterbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.
(4) Dalam hal permohonan dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jangka waktu pengangsuran atau penundaan ditetapkan paling lama sesuai ketentuan dalam Pasal 5 dan besarnya pembayaran pengangsuran atau penundaan pembayaran ditetapkan sesuai ketentuan dalam Pasal 6.


Pasal 11

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak diterima untuk mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) atau dianggap diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), atas Utang PBB yang tercantum dalam SPPT atau SKP PBB yang belum dilunasi dikenai sanksi administrasi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang PBB.
(2) Denda administrasi yang timbul akibat pengangsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan saldo Utang PBB.
(3) Denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditagih dengan menerbitkan STP PBB atas denda administrasi pada setiap tanggal jatuh tempo pengangsuran atau tanggal jatuh tempo penundaan.


Pasal 12

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, pengurangan, pembetulan, banding, atau peninjauan kembali atas ketetapan atau keputusan terkait Utang PBB yang telah diterbitkan keputusan pengangsuran atau penundaan pembayaran, keputusan pengangsuran atau penundaan tersebut tetap berlaku dan Wajib Pajak wajib melunasi sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.


Pasal 13

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang PBB belum diterbitkan suatu keputusan, dan kepada Wajib Pajak dimaksud diterbitkan surat ketetapan/keputusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga (SKPIB), kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan Utang PBB dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tidak mencukupi untuk melunasi Utang PBB yang diajukan permohonan pengangsuran atau penundaan, jumlah Utang PBB yang dipertimbangkan untuk diberikan keputusan pengangsuran atau penundaan adalah jumlah Utang PBB setelah dikurangi dengan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 14

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang PBB sudah diterbitkan suatu keputusan, dan kepada Wajib Pajak dimaksud diterbitkan surat ketetapan/keputusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga, kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan sisa Utang PBB yang belum diangsur atau ditunda pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi untuk melunasi sisa Utang PBB yang telah diterbitkan keputusan pengangsuran, besarnya angsuran dan/atau masa angsuran dari sisa Utang PBB tersebut harus ditetapkan kembali dengan ketentuan :
  1. besarnya angsuran dan denda administrasi setiap masa angsuran tidak lebih dari besarnya angsuran dan denda administrasi yang telah ditetapkan dalam surat keputusan sebelumnya; dan
  2. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah ditetapkan dalam surat keputusan sebelumnya.
(3) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi untuk melunasi Utang PBB yang ditunda, Wajib Pajak tetap berhak melunasi Utang PBB tersebut paling lama sesuai dengan jangka waktu penundaan.


Pasal 15

(1) Dalam hal diterbitkan suatu keputusan atau putusan yang menyebabkan Utang PBB menjadi lebih besar atau lebih kecil atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang telah diterbitkan keputusan pengangsuran pembayaran Utang PBB berupa menerima seluruhnya atau menerima sebagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), masa dan besarnya angsuran dari saldo Utang PBB ditetapkan kembali dengan ketentuan:
  1. besarnya angsuran dan denda administrasi setiap angsuran disesuaikan; dan
  2. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disetujui.
(2) Dalam hal diterbitkan suatu keputusan atau putusan yang menyebabkan Utang PBB menjadi lebih besar atau lebih kecil atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang telah diterbitkan keputusan penundaan pembayaran Utang PBB berupa menerima seluruhnya atau menerima sebagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Wajib Pajak tetap wajib melunasi Utang PBB tersebut sesuai dengan jangka waktu penundaan.


Pasal 16

(1) Penetapan kembali besarnya angsuran dan/atau masa angsuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1) dilakukan dengan prosedur:
  1. Kepala KPP Pratama memberitahukan kepada Wajib Pajak atau kuasanya mengenai perubahan saldo Utang PBB serta permintaan usulan perubahan pengangsuran;
  2. Wajib Pajak atau kuasanya harus menyampaikan usulan perubahan pengangsuran paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
  3. Kepala KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan perubahan keputusan pengangsuran pembayaran PBB berdasarkan usulan yang disampaikan oleh Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya usulan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b Kepala KPP Pratama tidak menerima usulan perubahan pengangsuran dari Wajib Pajak, Kepala KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan perubahan keputusan pengangsuran pembayaran PBB secara jabatan dengan ketentuan:
  1. besarnya angsuran adalah saldo Utang PBB dibagi dengan sisa masa angsuran; dan
  2. masa angsuran adalah sisa masa angsuran yang telah disetujui.


Pasal 17

(1) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengangsuran Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penundaan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Pengangsuran Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Pengangsuran Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Secara Jabatan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


 Pasal 18

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PENYESUAIAN BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PALING TINGGI 24 JUTA!

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 67/PMK.03/2011

TENTANG

PENYESUAIAN BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa untuk menyesuaikan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan perkembangan ekonomi, moneter dan harga umum objek pajak, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  2. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYESUAIAN BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.


Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
  1. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan PBB adalah Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  2. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang selanjutnya disingkat dengan NJOPTKP adalah batas Nilai Jual Objek Pajak yang tidak kena pajak.
  3. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat dengan NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.


Pasal 2

(1) Dasar pengenaan PBB adalah NJOP.
(2) NJOPTKP untuk setiap Wajib Pajak ditetapkan paling tinggi sebesar Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 3

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan NJOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) untuk masing-masing kabupaten/kota dengan mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat.


Pasal 4

Bentuk formulir Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak mengenai penetapan besarnya NJOPTKP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.


Pasal 5

Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, penetapan besarnya PBB terutang untuk Tahun Pajak 2011 dan untuk tahun sebelumnya, tetap menggunakan NJOPTKP sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.


Pasal 6

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 7

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

  


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2011
MENTERI KEUANGAN,
                        
ttd.
                        
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
                        

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

Senin, 26 Desember 2011

PELAYANAN KEPADA WAJIB PAJAK DALAM UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN SEHUBUNGAN DENGAN AKHIR TAHUN ANGGARAN 2011

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : SE - 92/PJ./2011

TENTANG

PELAYANAN KEPADA WAJIB PAJAK DALAM UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN
SEHUBUNGAN DENGAN AKHIR TAHUN ANGGARAN 2011

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-73/PB/2011 tanggal 3 Nopember 2011 tentang Langkah-Langkah Dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2011 dan untuk mengantisipasi pelayanan kepada Wajib Pajak dalam upaya pengamanan penerimaan Tahun Anggaran 2011, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Terkait dengan penerimaan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Perbendaharaan telah memerintahkan sebagai berikut :
  1. Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi mulai tanggal 21 Desember s.d. 30 Desember 2011 membuka penuh loket penerimaan setoran sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat;
  2. Khusus untuk penerimaan PBB, Bank/Pos Persepsi mulai tanggal 21 Desember s.d. 29 Desember 2011 membuka penuh loket penerimaan sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat;
  3. Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi melimpahkan penerimaan negara (kecuali PBB) setiap akhir hari kerja ke rekening SUBRKUN KPPN Nomor 501.00000x.xxx pada Bank Indonesia dan sudah harus diterima di rekening tersebut pukul 17.30 waktu setempat;
  4. Bank/Pos Persepsi melimpahkan penerimaan PBB ke BO III PBB setiap hari kerja mulai tanggal 21 Desember s.d. 29 Desember 2011 paling lambat pukul 16.30 waktu setempat.
2. Untuk pelayanan kepada Wajib Pajak dan upaya pengamanan penerimaan, agar para kepala kantor :
  1. Berkoordinasi dengan Bank/Pos Persepsi mengenai hal tersebut pada butir 1 di atas;
  2. Mengingatkan kepada para Wajib Pajak bahwa Bank/Pos Persepsi buka untuk menerima pembayaran sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat mulai tanggal 21 Desember 2011 s.d. 30 Desember 2011, kecuali untuk penerimaan PBB pada tanggal 21 Desember 2011 s.d. 29 Desember 2011 buka sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat.
3. Menindaklanjuti Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.05/2009 tanggal 4 Nopember 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan dan Pengeluaran Negara Pada Akhir Tahun Anggaran, dengan ini diminta kepada Kepala Kantor Wilayah DJP untuk melakukan koordinasi dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi di seluruh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi mitra kerja KPPN pada akhir tahun anggaran. Apabila diperlukan, Kepala Kantor Wilayah DJP dapat membentuk tim bersama dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
4. Penentuan tanggal jatuh tempo pelaporan pajak, berpedoman kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan sebaik-baiknya.




Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL,