Kamis, 29 Desember 2011

TATA CARA PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER - 38/PJ/2011

TENTANG

TATA CARA PENGANGSURAN DAN
PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum terkait pengangsuran dan penundaan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan serta meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak;
  2. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, terhadap ketentuan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  3. Bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 mengenai pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;

Mengingat

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 167/PMK.03/2007 tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010;


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.


Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  2. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  3. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
  4. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat dengan SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang kepada Wajib Pajak.
  5. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang PBB.
  6. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan STP PBB adalah Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang PBB.
  7. Utang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Utang PBB adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang masih harus dibayar termasuk denda administrasi yang tercantum dalam SPPT, SKP PBB, dan/atau STP PBB.
  8. Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang selanjutnya disebut dengan KPP Pratama adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tempat objek pajak terdaftar.
  9. Tahun Pengalihan adalah tahun dialihkannya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, paling lambat tahun 2014.


Pasal 2

Utang PBB yang tercantum dalam:
  1. SPPT, harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak;
  2. SKP PBB, harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak;
  3. STP PBB, harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP PBB oleh Wajib Pajak.


Pasal 3

(1) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu STP PBB yang terbit akibat pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang PBB.
 

Pasal 4

Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diajukan oleh Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas, kesulitan keuangan, atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.


Pasal 5

(1) Pengangsuran atas pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan dengan ketentuan:
  1. jangka waktu pengangsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya surat keputusan dengan pengangsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan; dan
  2. masa pengangsuran dimulai setelah jatuh tempo SPPT, SKP PBB, atau STP PBB.
(2) Penundaan atas pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya surat keputusan.
(3) Dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan akan dialihkan menjadi pajak daerah, jangka waktu pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang PBB dapat diberikan paling lama sampai dengan akhir Desember sebelum Tahun Pengalihan.


Pasal 6

(1) Besarnya pembayaran angsuran atas Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan dalam jumlah yang sama besar untuk setiap angsuran.
(2) Besarnya pelunasan atas penundaan pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan sebesar Utang PBB yang ditunda pembayarannya.


Pasal 7

Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus memenuhi persyaratan:
a. satu surat permohonan untuk satu SPPT, SKP PBB, atau STP PBB;
b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Pratama, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan;
c. mencantumkan:
  1. jumlah Utang PBB yang dimohonkan pengangsuran pembayarannya, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau
  2. jumlah Utang PBB yang dimohonkan penundaan pembayarannya dan jangka waktu penundaan;
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP;
e. diajukan paling lambat 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, kecuali apabila Wajib Pajak atau kuasanya dapat menunjukkan bahwa batas waktu pengajuan tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;
f. tidak memiliki tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan tahun-tahun sebelumnya;
g. dilampiri fotokopi SPPT, SKP PBB, atau STP PBB, yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan.


Pasal 8

(1) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala KPP Pratama, kecuali apabila Kepala KPP Pratama menganggap tidak perlu.
(2) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, dan/atau sertifikat deposito.


Pasal 9

(1) Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dianggap bukan sebagai surat permohonan pengangsuran atau penundaan sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
(2) Dalam hal permohonan pengangsuran atau penundaan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP Pratama dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus memberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari kepada Wajib Pajak atau kuasanya.
(3) Dalam hal permohonan pengangsuran atau penundaan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan kembali sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.


Pasal 10

(1) Setelah meneliti dan mempertimbangkan permohonan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Kepala KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat permohonan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(3) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala KPP Pratama tidak memberikan keputusan, permohonan dianggap diterima dan diterbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.
(4) Dalam hal permohonan dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jangka waktu pengangsuran atau penundaan ditetapkan paling lama sesuai ketentuan dalam Pasal 5 dan besarnya pembayaran pengangsuran atau penundaan pembayaran ditetapkan sesuai ketentuan dalam Pasal 6.


Pasal 11

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak diterima untuk mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) atau dianggap diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), atas Utang PBB yang tercantum dalam SPPT atau SKP PBB yang belum dilunasi dikenai sanksi administrasi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang PBB.
(2) Denda administrasi yang timbul akibat pengangsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan saldo Utang PBB.
(3) Denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditagih dengan menerbitkan STP PBB atas denda administrasi pada setiap tanggal jatuh tempo pengangsuran atau tanggal jatuh tempo penundaan.


Pasal 12

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, pengurangan, pembetulan, banding, atau peninjauan kembali atas ketetapan atau keputusan terkait Utang PBB yang telah diterbitkan keputusan pengangsuran atau penundaan pembayaran, keputusan pengangsuran atau penundaan tersebut tetap berlaku dan Wajib Pajak wajib melunasi sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.


Pasal 13

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang PBB belum diterbitkan suatu keputusan, dan kepada Wajib Pajak dimaksud diterbitkan surat ketetapan/keputusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga (SKPIB), kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan Utang PBB dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tidak mencukupi untuk melunasi Utang PBB yang diajukan permohonan pengangsuran atau penundaan, jumlah Utang PBB yang dipertimbangkan untuk diberikan keputusan pengangsuran atau penundaan adalah jumlah Utang PBB setelah dikurangi dengan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 14

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang PBB sudah diterbitkan suatu keputusan, dan kepada Wajib Pajak dimaksud diterbitkan surat ketetapan/keputusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga, kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan sisa Utang PBB yang belum diangsur atau ditunda pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi untuk melunasi sisa Utang PBB yang telah diterbitkan keputusan pengangsuran, besarnya angsuran dan/atau masa angsuran dari sisa Utang PBB tersebut harus ditetapkan kembali dengan ketentuan :
  1. besarnya angsuran dan denda administrasi setiap masa angsuran tidak lebih dari besarnya angsuran dan denda administrasi yang telah ditetapkan dalam surat keputusan sebelumnya; dan
  2. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah ditetapkan dalam surat keputusan sebelumnya.
(3) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi untuk melunasi Utang PBB yang ditunda, Wajib Pajak tetap berhak melunasi Utang PBB tersebut paling lama sesuai dengan jangka waktu penundaan.


Pasal 15

(1) Dalam hal diterbitkan suatu keputusan atau putusan yang menyebabkan Utang PBB menjadi lebih besar atau lebih kecil atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang telah diterbitkan keputusan pengangsuran pembayaran Utang PBB berupa menerima seluruhnya atau menerima sebagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), masa dan besarnya angsuran dari saldo Utang PBB ditetapkan kembali dengan ketentuan:
  1. besarnya angsuran dan denda administrasi setiap angsuran disesuaikan; dan
  2. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disetujui.
(2) Dalam hal diterbitkan suatu keputusan atau putusan yang menyebabkan Utang PBB menjadi lebih besar atau lebih kecil atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang telah diterbitkan keputusan penundaan pembayaran Utang PBB berupa menerima seluruhnya atau menerima sebagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Wajib Pajak tetap wajib melunasi Utang PBB tersebut sesuai dengan jangka waktu penundaan.


Pasal 16

(1) Penetapan kembali besarnya angsuran dan/atau masa angsuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1) dilakukan dengan prosedur:
  1. Kepala KPP Pratama memberitahukan kepada Wajib Pajak atau kuasanya mengenai perubahan saldo Utang PBB serta permintaan usulan perubahan pengangsuran;
  2. Wajib Pajak atau kuasanya harus menyampaikan usulan perubahan pengangsuran paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
  3. Kepala KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan perubahan keputusan pengangsuran pembayaran PBB berdasarkan usulan yang disampaikan oleh Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya usulan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b Kepala KPP Pratama tidak menerima usulan perubahan pengangsuran dari Wajib Pajak, Kepala KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan perubahan keputusan pengangsuran pembayaran PBB secara jabatan dengan ketentuan:
  1. besarnya angsuran adalah saldo Utang PBB dibagi dengan sisa masa angsuran; dan
  2. masa angsuran adalah sisa masa angsuran yang telah disetujui.


Pasal 17

(1) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengangsuran Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penundaan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Pengangsuran Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Pengangsuran Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Secara Jabatan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


 Pasal 18

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PENYESUAIAN BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PALING TINGGI 24 JUTA!

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 67/PMK.03/2011

TENTANG

PENYESUAIAN BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa untuk menyesuaikan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan perkembangan ekonomi, moneter dan harga umum objek pajak, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  2. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYESUAIAN BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.


Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
  1. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan PBB adalah Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  2. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang selanjutnya disingkat dengan NJOPTKP adalah batas Nilai Jual Objek Pajak yang tidak kena pajak.
  3. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat dengan NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.


Pasal 2

(1) Dasar pengenaan PBB adalah NJOP.
(2) NJOPTKP untuk setiap Wajib Pajak ditetapkan paling tinggi sebesar Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 3

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan NJOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) untuk masing-masing kabupaten/kota dengan mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat.


Pasal 4

Bentuk formulir Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak mengenai penetapan besarnya NJOPTKP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.


Pasal 5

Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, penetapan besarnya PBB terutang untuk Tahun Pajak 2011 dan untuk tahun sebelumnya, tetap menggunakan NJOPTKP sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.


Pasal 6

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 7

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

  


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2011
MENTERI KEUANGAN,
                        
ttd.
                        
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
                        

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

Senin, 26 Desember 2011

PELAYANAN KEPADA WAJIB PAJAK DALAM UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN SEHUBUNGAN DENGAN AKHIR TAHUN ANGGARAN 2011

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : SE - 92/PJ./2011

TENTANG

PELAYANAN KEPADA WAJIB PAJAK DALAM UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN
SEHUBUNGAN DENGAN AKHIR TAHUN ANGGARAN 2011

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-73/PB/2011 tanggal 3 Nopember 2011 tentang Langkah-Langkah Dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2011 dan untuk mengantisipasi pelayanan kepada Wajib Pajak dalam upaya pengamanan penerimaan Tahun Anggaran 2011, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Terkait dengan penerimaan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Perbendaharaan telah memerintahkan sebagai berikut :
  1. Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi mulai tanggal 21 Desember s.d. 30 Desember 2011 membuka penuh loket penerimaan setoran sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat;
  2. Khusus untuk penerimaan PBB, Bank/Pos Persepsi mulai tanggal 21 Desember s.d. 29 Desember 2011 membuka penuh loket penerimaan sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat;
  3. Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi melimpahkan penerimaan negara (kecuali PBB) setiap akhir hari kerja ke rekening SUBRKUN KPPN Nomor 501.00000x.xxx pada Bank Indonesia dan sudah harus diterima di rekening tersebut pukul 17.30 waktu setempat;
  4. Bank/Pos Persepsi melimpahkan penerimaan PBB ke BO III PBB setiap hari kerja mulai tanggal 21 Desember s.d. 29 Desember 2011 paling lambat pukul 16.30 waktu setempat.
2. Untuk pelayanan kepada Wajib Pajak dan upaya pengamanan penerimaan, agar para kepala kantor :
  1. Berkoordinasi dengan Bank/Pos Persepsi mengenai hal tersebut pada butir 1 di atas;
  2. Mengingatkan kepada para Wajib Pajak bahwa Bank/Pos Persepsi buka untuk menerima pembayaran sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat mulai tanggal 21 Desember 2011 s.d. 30 Desember 2011, kecuali untuk penerimaan PBB pada tanggal 21 Desember 2011 s.d. 29 Desember 2011 buka sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat.
3. Menindaklanjuti Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.05/2009 tanggal 4 Nopember 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan dan Pengeluaran Negara Pada Akhir Tahun Anggaran, dengan ini diminta kepada Kepala Kantor Wilayah DJP untuk melakukan koordinasi dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi di seluruh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi mitra kerja KPPN pada akhir tahun anggaran. Apabila diperlukan, Kepala Kantor Wilayah DJP dapat membentuk tim bersama dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
4. Penentuan tanggal jatuh tempo pelaporan pajak, berpedoman kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan sebaik-baiknya.




Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL,

Rabu, 19 Oktober 2011

Ditjen Pajak gandakan target sensus pajak

Harian Kontan, 19 Oktober 2011
JAKARTA. Guna mendongkrak penerimaan pajak tahun depan, Kementerian Keuangan akan menggenjot penambahan target jumlah wajib pajak yang dijaring melalui sensus pajak. Dirjen pajak meningkatkan target penambahan wajib pajak baru dua kali lipat dari target awal.

Sebelumnya, Ditjen Pajak menargetkan ada tambahan enam juta wajib pajak baru dari program sensus pajak yang berlangsung hingga Desember 2012. Dengan demikian kini Ditjen Pajak menargetkan hingga mencapai 12 juta wajib pajak baru setelah program sensus pajak berakhir.

Demi mencapai itu, Dirjen Pajak juga akan menambah jumlah petugas sensus pajak menjadi 6.000 orang pada tahun depan. "Sensus pajak akan saya perbesar skalanya," kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rachmany, di Jakarta, Selasa (18/10).

Saat ini Ditjen Pajak telah memiliki sekitar 3.000 orang petugas sensus pajak untuk melakukan sensus pajak dengan target sensus sebesar 1,5 juta formulir wajib pajak hingga akhir tahun ini. Target ini pun bertambah dua kali lipat menjadi tiga juta formulir sampai akhir tahun.

Target ini terbilang tinggi. Sebab selama satu pekan sejak 1 Oktober 2011, petugas sensus pajak masih menghadapi sejumlah kendala. Antara lain, petugas di kawasan perdagangan belum bisa menemui pemilik toko. Akibatnya formulir sensus yang terisi hanya 50.000 formulir selama sepekan di tingkat nasional.

Dari 50.000 formulir yang terkumpul, sekitar 52% di antaranya diisi oleh wajib pajak di tempat dan langsung dikembalikan ke petugas sensus. Sedang sisanya yang 48% dititipkan ke pelayan atau karyawan karena pemilik toko tak ada di tempat. "Bahkan banyak juga pemilik yang tidak bisa ditemui sama sekali karena tokonya tutup. Entah ditutup karena takut akan disensus atau memang belum buka," kata Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Hartoyo, pekan lalu (12/10).

Catatan saja, pemerintah dan Banggar DPR sepakat menetapkan rasio pajak dalam RAPBN 2012 sebesar 12,72 % dari produk domestik bruto (PDB). Rasio pajak ini meningkat ketimbang usulan awal pemerintah dalam RAPBN 2012 sebesar 12,6%. Angka rasio pajak ini juga lebih tinggi dari angka rasio pajak dalam APBN Perubahan 2011 yang sebesar 12,2%. Dengan tambahan rasio pajak tersebut, penerimaan perpajakan tahun depan bakal menjadi Rp 1.032,53 triliun.

Anggaran sensus pajak nasional hingga Desember 2012 sebesar Rp 226 miliar. Anggaran tersebut mencakup biaya pelaksanaan sensus pajak Rp 211,2 miliar. Sisanya Rp 14,8 miliar akan diperuntukkan bagi honorarium personel sensus non pegawai.

Senin, 03 Oktober 2011

SENSUS PAJAK NASIONAL

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 149/PMK.03/2011

TENTANG

SENSUS PAJAK NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka pendataan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan guna memperluas basis pajak, perlu dilakukan pengumpulan data berbasis objek pajak;
  2. bahwa kegiatan pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada huruf a, dilakukan melalui sensus pajak nasional yang merupakan salah satu program penggalian potensi perpajakan guna pengamanan penerimaan negara dan pencapaian target penerimaan perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2011, sebagaimana diamanahkan dalam Pidato Presiden pada tanggal 16 Agustus 2011 dalam penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Sensus Pajak Nasional;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
          

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
  
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SENSUS PAJAK NASIONAL.
    

Pasal 1

(1) Sensus pajak nasional diselenggarakan melalui kegiatan pendataan objek pajak dalam rangka pengumpulan data perpajakan.
(2) Sensus pajak nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu program penggalian potensi perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak, pencapaian target penerimaan perpajakan dan pengamanan penerimaan negara.
(3) Penyelenggaraan sensus pajak nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dapat bekerja sama dengan pihak lain.


Pasal 2

(1) Penyelenggaraan sensus pajak nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dilakukan dengan cara mendatangi subjek pajak di lokasi subjek pajak.
(2) Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi dan badan.
(3) Lokasi subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah domisili, tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukan dari subjek pajak.
(4) Penyelenggaraan sensus pajak nasional dilakukan di seluruh wilayah Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.


Pasal 3

(1) Dalam rangka penyelenggaraan sensus pajak nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Menteri Keuangan membentuk tim sensus pajak nasional yang terdiri dari:
  1. tim pada tingkat pusat;
  2. tim pada tingkat kantor wilayah; dan
  3. tim pada tingkat kantor pelayanan pajak.
(2) Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menggunakan tenaga non Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak untuk jangka waktu tertentu.


Pasal 4          

Data perpajakan yang diperoleh dari hasil penyelenggaraan sensus pajak nasional, ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    

Pasal 5
          
Ketentuan mengenai pedoman teknis dalam rangka penyelenggaraan sensus pajak nasional diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
    

Pasal 6          

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2012.
          
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
                            



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 September 2011
MENTERI KEUANGAN,
                              
ttd.
                              
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
                              

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 September 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,   
      
ttd.     
      
PATRIALIS AKBAR     

Rabu, 14 September 2011

Pajak Indekosan dan Hotel sama besar

Harian Seputar Indonesia, 14 September 2011
BEKASI – DPRD Kota Bekasi mengesahkan penerapan pajak untuk rumah indekos dan kontrakan mewah sebesar 10%. Pengenaan pajak ini sama halnya dengan pajak yang diberlakukan untuk hotel sebesar 10%.

Ketua Pansus 11 DPRD Kota Bekasi Ahmad Ustuchri mengatakan, usulan pengenaan pajak 10% ini diajukan Pemkot Bekasi. Berdasarkan usulan tersebut, DPRD membentuk Pansus 11 yang mengkaji usulan itu dan memasukkannya dalam revisi Perda No 14/2001 tentang Retribusi Hotel.

Menurutnya, usulan eksekutif menarik pajak rumah kontrakan dan indekosan ini berdasarkan UU No 28/2009 tentang Retribusi dan Pajak Daerah.”Kami telah mengesahkan penerapan pajak 10% dari harga sewa untuk rumah indekos dan kontrakan di Kota Bekasi,”kata Ahmad kemarin.

Ahmad menerangkan, masyarakat Kota Bekasi tidak perlu resah dengan pengesahan pajak 10% tersebut, sebab penerapannya hanya diperuntukkan bagi rumah indekos dan rumah kontrakan yang memiliki fasilitas layaknya hotel. Plt Sekda Kota Bekasi Dudy Setiabudhi mengatakan, setelah pengesahan pajak tersebut, pihaknya segera melakukan pendataan jumlah rumah indekos dan kontrakan.

”Kami akan memberikan NPWP daerah kepada pemilik indekosan dan kontrakan yang menjadi wajib pajak,”tukasnya. Dudy berharap penerapan pajak ini dapat menambah kas daerah
.

Sasaran WP Pribadi, Pajak Minta Boleh Akses Data Nasabah Bank

Harian Kontan, 13 September 2011
JAKARTA. Agar penerimaan pajak membesar, Direktorat Jenderal Pajak disarankan lebih banyak menyasar wajib pajak pribadi dalam sensus pajak mulai awal Oktober 2011. Selama ini, potensi wajib pajak yang belum tergali secara maksimal ialah wajib pajak pribadi, khususnya mereka yang memiliki sumber pendapatan lebih dari satu (multi income).
Sudah barang tentu, menyisir wajib pajak pribadi lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan wajib pajak badan yang sudah memiliki sistem audit dan laporan keuangan. "Maka itu perlu didahulukan," jelas Anggito Abimanyu, mantan Kepala Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan yang kini kembali ke kampus UGM, saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, kemarin (12/9).
Menurut Anggito, potensi penerimaan wajib pajak pribadi diperkirakan bisa memenuhi target penerimaan pajak tahun 2012.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.019,3 triliun, atau 79% dari total pendapatan negara dan hibah. Target penerimaan perpajakan ini naik Rp 140,6 triliun atau 16% dari APBN Perubahan 2011 Rp 878,7 triliun.
Menurut Anggito, setiap 1% kenaikan target penerimaan negara, penerimaan pajak bertambah sebesar Rp 6 triliun. Guna menutup itu, "Kuncinya ada di sensus pajak dan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi yang punya multi income," kata Anggito.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rachmany menyatakan, pemerintah tidak akan membedakan sasaran dalam sensus pajak. "Kami tidak melakukan diskriminasi. Kami akan pergi ke tempat-tempat yang potensial dan lebih mudah didata," katanya.
Dirjen Pajak mengatakan, data yang mudah didapat ialah data wajib pajak badan. Selama ini, Direktorat Jenderal Pajak kesulitan menjaring wajib pajak orang pribadi karena data mereka terlindungi oleh kerahasiaan bank. "Data yang paling akurat tentang kondisi keuangan seseorang itu ada di perbankan, karena semua melakukan transaksi perbankan," jelas Fuad.
Maka itu, Fuad meminta BI memberikan data-data keuangan tersebut agar Ditjen Pajak bisa meningkatkan penerimaan pajak dari wajib pajak pribadi. "Sebenarnya bisa diselesaikan atau diperbaiki kalau data-data perbankan bisa kami dapatkan," ujarnya.
Di Amerika, misalnya, data-data finansial seseorang bisa mudah didapatkan untuk pendataan pajak. Di Indonesia sulit dilakukan karena terbentur kerahasiaan nasabah yang dilindungi UU Perbankan.
Fuad mengusulkan terobosan baru. Petugas pajak dapat mengakses data nasabah bank dengan syarat tetap menjanjikan kerahasiaan data.
Melihat kasus yang ada diatas, wajib pajak sekarang sudah harus melaporkan pajak secara riil. Kedepannya tidak ada lagi yang bisa kita tutupi lagi dari perpajakan, apalagi bila pajak sudah diperbolehkan mengakses data WP Pribadi. Semoga WP lebih jujur lagi dalam pelaporan pajak...=)

Senin, 25 Juli 2011

PERUBAHAN ATAS TARIF PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2011

TENTANG

PERUBAHAN ATAS TARIF PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa mengingat beberapa Daerah Provinsi sudah menetapkan Peraturan Daerah yang mengenakan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) di atas 5%, Pemerintah perlu menyesuaikan tarif PBB-KB dengan alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dalam rangka stabilisasi harga bahan bakar kendaraan bermotor yang disubsidi oleh Pemerintah;
  2. bahwa sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah dapat mengubah tarif PBB-KB yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan Peraturan Presiden;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu mengatur Peraturan Presiden tentang Perubahan atas Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

Mengingat :

  1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5075) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5132);
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5167);
  5. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006;


MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN ATAS TARIF PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR.


Pasal 1

(1)Dalam rangka stabilisasi harga bahan bakar kendaraan bermotor sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah diubah menjadi sebesar 5% (lima persen)
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk bahan bakar kendaraan bermotor yang disubsidi oleh Pemerintah.


Pasal 2

Peraturan Daerah yang mengatur tarif PBB-KB yang diterbitkan setelah Peraturan Presiden ini ditetapkan, wajib didasarkan kepada Peraturan Presiden ini.


Pasal 3

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 15 September 2012, dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 7 September 2010.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Minggu, 17 Juli 2011

Tak Ada Keringanan Bagi Importir Film Penunggak Pajak

detikfinance.com, 18 Juli 2011

Jakarta - Kementerian Keuangan menyatakan tak akan memberikan keringanan kepada importir film yang masih menunggak pajak, meskipun saat ini sudah dikeluarkan aturan bea masuk film baru.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang Brodjonegoro mengatakan, kedua importir penunggak pajak yang masuk dalam grup 21cineplex tetap tak diperbolehkan melakukan impor hingga tunggakannya lunas.

"Peraturan Menteri Keuangan (PMK) baru soal pajak film impor tidak berkaitan dengan 2 importir film yang berperkara di pengadilan pajak. Mereka tetap harus patuh pada putusan pengadilan," jelas Bambang kepada detikFinance, Senin (18/7/2011)..

Dijelaskan Bambang, PMK baru soal pajak film adalah solusi Kemenkeu agar impor film bisa jalan dengan model bisnis yang disepakati semua pihak.

Seperti diketahui, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengeluarkan PMK baru soal tarif bea masuk seluruh film asing. Besaran tarif bea masuk tersebut adalah Rp 21 ribu-22 ribu per menit untuk setiap salinan film asing yang diimpor.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pernah mengatakan tidak peduli akan monopoli pada film impor, yang penting film-film dari Hollywood kembali masuk. Namun pernyataan ini buru-buru dibantah lagi oleh Jero.

Jumat, 15 Juli 2011

DConsulting: Pajak Royalti Film Ditunda Dua Tahun

DConsulting: Pajak Royalti Film Ditunda Dua Tahun

Pajak Royalti Film Ditunda Dua Tahun

Harian Kontan, 14 Juli 2011
JAKARTA. Masyarakat mungkin akan segera menikmati lagi film-film impor di bioskop. Pemerintah kabarnya telah mencapai kesepakatan dengan pengusaha bioskop dan importir film untuk menunda penerapan pajak royalti film selama dua tahun.

Kabar ini datang dari Ketua Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Johny Syafrudin. "Kami sudah mencapai kesepakatan, namun sampai sekarang belum keluar keputusan resmi dari pemerintah," kata Johny, kemarin (13/7).

Sebagai pengusaha bioskop, Johny mengaku sangat senang dengan keputusan ini. Menurutnya, keputusan ini bisa mempercepat film-film impor asal Amerika Serikat masuk ke Indonesia.

Maklum banyak masyarakat yang kecewa karena tidak bisa menikmati film-film asing di bioskop. Di sisi lain, bisnis bioskop terancam gulung tikar karena tidak memiliki penonton. Keputusan ini, kata Johny, bisa membangkitkan lagi industri bioskop dalam negeri.

Dengan kesepakatan ini, berarti selama dua tahun ke depan, pemerintah tidak akan memungut pajak royalti film impor yang ditetapkan senilai US$ 0,43 per meter rol film.

Pajak royalti tersebut dipungut oleh pemerintah di awal saat importir memasukkan filmnya ke Indonesia.

Johny berharap surat resminya segera terbit dalam waktu dekat. Keputusan tersebut merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dengan importir film dalam rangka membangkitkan industri perfilman dalam negeri.

Menurut dia, asosiasi produsen film Amerika Serikat atau MPAA, sudah mengetahui informasi tentang penundaan ini, sehingga mereka akan mempercepat masuknya film-film dari AS ke Indonesia.

Ketika diinformasi, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agus Kuswandono membenarkan ihwal penundaan tersebut. "Peraturan Menteri Keuangan baru terbit hari ini (kemarin), silakan cek ke Badan Kebijakan Fiskal," kata Agung lewat pesan pendek.

Namun Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Soemantri Brojonegoro belum mau memberikan keterangan soal penundaan pajak royalti film impor ini.

Selain royalti, film impor terkena bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor 10%, dan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2,5%.

Khusus bea masuk, pertengahan Juni lalu, pemerintah sudah menyederhanakan tarif bea masuk impor film menjadi spesifik, sekitar Rp 21.000-Rp 22.000 per menit durasi film. Tarif ini lebih sederhana dari sebelumnya yang menggunakan sistem presentase atau ad volarem. 

Senin, 27 Juni 2011

Penerimaan pajak Batu meleset

bisnis.com, 26 Juni 2011
BATU: Penerimaan pajak daerah di Kota Batu, Malang, Jawa Timur semester I/2011 hampir dipastikan meleset karena dari Rp30 miliar yang ditargetkan realisasinya sampai akhir pekan ini hanya Rp26 miliar atau kurang sekitar 13% senilai Rp4 miliar.

Pemkot Batu mematok penerimaan pajak daerah tahun ini sebesar Rp75 miliar. Sebanyak 40% atau senilai Rp30 miliar terdistribusi ke semester I, sedangkan sisanya yang 60% atau senilai Rp45 miliar didistribusikan ke semester II.

"Sampai akhir Juni targetnya 40%, namun hingga tersisa beberapa hari lagi baru tercapai 35%. Tentunya butuh kerja ekstra keras untuk mencapai target tersebut," kata Kepala Dinas Pendapatan Daerah Batu Zadim Effisiensi di Batu, akhir pekan lalu.

Dia mengklaim salah satu penyebab melesetnya penerimaan pajak itu adalah adanya sejumlah hotel dan objek wisata di Batu yang menunggak pajak. Alasannya, para wajib pajak itu masih menunggu jawaban Wali Kota Batu terkait dengan tuntutan penurunan pajak.

Zadim menambahkan beberapa waktu lalu para pelaku usaha perhotelan dan hiburan di Batu memang mengirimkan  surat ke Wali Kota Batu agar dilalukan peninjauan kembali tarif pajak yang ditetapkan, antara lain tarif pajak hiburan sebesar 35%.

Para pelaku usaha menilai tarif tersebut memberatkan dan relatif tinggi apabila dibandingkan dengan tarif pajak di sejumlah daerah seperti Bali atau Jakarta yang menetapkan tarif pajak hiburan sebesar 10%.

Desas Desus Batas Penghasilan Tak Kena Pajak Dinaikkan

jpnn.com, 5 Mei 2011
JAKARTA - Bisa jadi ini kabar gembira bagi para tenaga kerja yang merasa terbebani dengan adanya pajak penghasilan. Pemerintah berencana menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak karyawan dan buruh dari Rp 1,3 juta menjadi Rp 2,6 juta.

"Kami sedang menggodok pajak penghasilan buruh ini dari Rp 1,3 juta tidak kena pajak, ke depan akan dinaikkan lagi. Kami berjuang dengan menteri keuangan supaya dua kali lipat, berarti Rp 2,6 juta," kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar di komplek Istana Presiden, Rabu (4/5).

Batas penghasilan tidak kena pajak itu mengacu pada take home pay yang diterima setiap buruh. "Ini supaya tidak memberatkan buruh," kata Muhaimin.

Menurut dia, perubahan semacam itu tidak sampai harus mengubah undang-undang. Namun bisa cukup dengan keputusan menteri. Saat ini, lanjut Muhaimin, pihaknya tengah meyakinkan dirjen pajak terkait rencana tersebut. Jika target menaikkan batasan hingga dua kali lipat tidak terpenuhi, dia berharap setidaknya bisa naik 75 persen dari nilai tidak kena pajak saat ini.
     
Selain negoisasi itu, Kemenakertrans juga melakukan sosialisasi dengan kalangan pengusaha. "Secara umum, pengusaha kalau soal penghasilan tidak kena pajak, tidak masalah. Senang saja. Pemerintah yang rugi," ungkap pria yang akrab disapa Cak Imin itu.

Dalam kesempatan itu, Muhaimin juga mengatakan pihaknya telah selesai membahas UU Pembantu Rumah Tangga. Proses selanjutnya akan berada di Kementerian Hukum dam HAM. Menurut Muhaimin, undang-undang itu nantinya memberikan perlindungan yang mendasar untuk PRT. Misalnya tidak ada kekerasan dan jaminan perlindungan kerja

Selasa, 08 Maret 2011

Langkah - Langkah Pengisian SPT Tahunan WPOP 1770

Banyak orang yang bingung bagaimana cara mengisi SPT tahunan pribadi yang akan mereka laporkan, khususnya untuk formulis 1770 karena memiliki lampiran yang cukup banyak. Formulir SPT 1770 terdiri atas 1 halaman induk (1770) dan 5 halaman lampiran (1770-I hal 1, 1770-I hal 2, 1770-II, 1770-III dan 1770-IV). Pada dasarnya mengisi SPT 1770 harus dimulai dari lampiran yang paling belakang karena angka untuk mengisi halaman induk didepannya berasal dari lampiran yang ada di belakangnya. Untuk itu mari kita mulai menelaah lebih jauh mengenai SPT 1770 dimulai dari halaman yang paling belakang.
  • 1770-IV
           Lampiran ini berisikan atas harta pada akhir tahun, kewajiban atau hutang pada
           akhir tahun dan daftar susunan anggota keluarga.
           Kolom harta dan kewajiban sebaiknya anda isi dengan harta anda yang riil, jangan
           sampai anda tidak menampilkan harta anda yang sebenarnya ada, karena hal itu
           malah membuat anda terjebak dalam sindrom "kekurangan harta" pada saat
           anda ingin membeli rumah ataupun kendaraan, sedangkan di SPT anda hartanya
           tidak cukup. 
           Kolom kewajiban harus anda isi apabila didalam rincian harta yang anda tampilkan
           ada yang merupakan hasil dari pinjaman dari bank atau pihak lain, misal mobil
           yang masih kredit, KPR, dll.
           Kolom daftar susunan anggota keluarga diisi dengan keluarga yang merupakan
           tanggungan anda. Misal anda sudah menikah dan punya anak, maka kolom
           tersebut diisi dengan nama istri dan anak anda. ataupun bila anda
           menanggung ibu atau bapak kandung anda, maka boleh ditampilkan dikolom
           tersebut.
  • 1770-III
          Pada formulir ini berisikan atas penghasilan yang dikenakan pajak final atau bersifat
          final, penghasilan yang tidak termasuk objek pajak dan penghasilan istri yang
          dikenakan pajak secara terpisah.
          Kolom penghasilan yang dikenakan pajak final merupakan segala jenis penghasilan
          yang sudah dikenakan pajak final, bisa menambah nilai penghasilan anda tetapi
          sudah tidak dikenakan pajak lagi untuk perhitungan pajak tahunan anda.
          Biasanya untuk kolom ini digunakan dengan baik oleh WP dalam menambahkan
          penghasilan, terutama penghasilan dari bunga deposito/tabungan, sewa gedung, dll.
          Apabila penghasilan istri berasal dari satu pemberi kerja yang lain dan sudah
          dikenakan pajak penghasilan, maka penghasilan istri tersebut juga dikenakan
          pajak final dan langsung menambah penghasilan suami tanpa harus dikenakan
          pajak penghasilan lagi.
          Kolom penghasilan yang tidak termasuk objek pajak harus diisi untuk
          penghasilan-penghasilan yang berasal dari hibah, warisan, deviden, klaim asuransi,
          beasiswa, dan penghasilan lain yang tidak termasuk objek pajak.
          Kolom penghasilan istri yang dikenakan pajak penghasilan terpisah merupakan
          kolom yang harus diisi apabila istri memiliki penghasilan sendiri (harus dari lebih
          dari satu pemberi kerja ataupun bekerja sendiri). Nantinya penghasilan istri akan
          ditambahkan kepenghasilan suami dan PTKP istri juga akan ditambahkan ke
          PTKP suami.
  • 1770-II
          Lampiran ini diisi dengan daftar pemotongan/pemungutan PPh oleh pihak lain, PPh
          yang dibayar atau dipotong di luar negeri dan PPh yang ditanggung oleh pemerintah.
          Untuk lampiran ini bila diisi dengan bukti potong yang didapat dari pihak lain
          (perusahaan tempat anda bekerja, atau tempat anda memberikan jasa profesional
          anda) maka nanti anda harus melampirkan fotocopy bukti potong pada laporan
          SPT tahunan anda.
  • 1770-I halaman 2
          Lampiran ini diisi dengan jumlah penghasilan netto yang diperoleh dari pekerjaan
          bebas (dimana dalam kolom penghasilan ini dikenakan norma atas pekerjaan
          bebas yang dilakukan WP),  Penghasilan netto yang diperoleh dari pemberi
          kerja (dari perusahaan tempat anda bekerja ataupun anda sebagai pekerja
          profesional yang mendapatkan bukti potong), dan Penghasilan netto dalam negeri
          lainnya yang tidak dikenakan penghasilan bersifat final.
          Kolom penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan bebas harus anda isi dengan
          omzet yang anda peroleh dari pekerjaan bebas anda selama setahun. Nantinya
          dalam kolom ini ada pengurang penghasilan yang berupa norma dimana didalam
          kolom ini omzet anda tadi akan dikalikan presentase pengurang dan akhirnya
          menjadi penghasilan anda selama setahun. Maka dari itu di dalam pemilihan norma
          sebaiknya anda harus teliti dan pilihlah norma dengan presentase terkecil sesuai
          dengan kriteria pekerjaan anda.
  • 1770-I halaman 1
          Lampiran ini hanya diisi bila WP menggunakan pembukuan.
  • 1770
          Lampiran ini merupakan induk dari semua lampiran yang telah kita bahas tadi, dan
          angka yang diisi pada formulir 1770 ini berasal dari lampiran-lampiran yang telah kita
          bahas tadi. Pada tiap kolom sudah tertera jelas angka tersebut berasal dari mana,
          jadi lebih memudahkan WP dalam mengisi kolom-kolom yang ada.

Sekian pembahasan mengenai cara pengisian Formulir SPT Tahunan PPh WPOP 1770. Semoga bisa membantu memecahkan kebingungan anda dalam mengisi SPT yang harus anda laporkan. Apabila ada pertanyaan mengenai bahasan ini atau bahasan apapun mengenai accounting, tax, system ataupun finance anda bisa mengemail kami di dconsulting_public_consultant@yahoo.com

Best Regard,
 
DConsulting Public Consultant
Accounting-Tax-System-Finance Consultant
Total Solution For Your Business Growth

Rabu, 02 Maret 2011

Pelaporan SPT PPh Pribadi 1770, 1770S dan 1770SS

Banyak orang yang masih bingung dengan pelaporan SPT tahunan pribadi mereka, ditambah lagi dengan deadline pelaporan dan pembayaran SPT yang semakin dekat, yaitu 31 Maret 2010. Apalagi untuk pengisian formulir SPT tersebut juga memiliki kolom-kolom yang beraneka ragam dan jenis formulir yang beraneka ragam (1770, 1770S dan 1770SS)
Untuk itu saya bantu jelaskan jenis-jenis formulir Surat Pemberitahuan Tahunan dan kegunaannya supaya anda dan rekan-rekan anda tidak bingung dan bisa menentukan formulir apa yang cocok untuk anda gunakan.
  1. Formulir SPT 1770 --> Formulir 1770 digunakan untuk pelaporan SPT dimana pribadi tersebut memiliki usaha sendiri, atau memiliki usaha sendiri dan bekerja pada perusahaan lain (dimana diberikan bukti potong A1). Untuk formulir ini pribadi tersebut bisa menggunakan pembukuan untuk pelaporan peredaran usahanya setahun ataupun dengan penggunaan norma, yang mana penggunaan norma ini digunakan sebagai dasar pemotongan peredaran usaha setahun.
  2. Formulir SPT 1770S --> Formulir 1770S digunakan untuk pelaporan SPT dimana pribadi tersebut bekerja pada lebih dari 1 pemberi kerja ataupun bekerja pada 1 pemberi kerja tapi memiliki penghasilan diatas 60 juta setahun.
  3. Formulir SPT 1770SS --> Formulir 1770SS digunakan untuk pelaporan SPT dimana pribadi tersebut bekerja pada 1 pemberi kerja saja dan berpenghasilan tidak lebih dari 60 juta setahun.
Pada formulir SPT tersebut selalu ada kolom harta yang harus dilaporkan, sebaiknya anda melaporkan harta yang benar-benar anda punyai, tapi jangan lupa untuk mensetting agar penghasilan yang anda punyai dan harta yang anda laporkan bisa proporsional dan bisa diterima dengan baik waktu anda melaporkan SPT tersebut.
Sekian penjelasan saya mengenai jenis-jenis formulir SPT. Untuk pengisiannya akan saya jelaskan lebih lanjut di Pelaporan SPT PPh Pribadi 1770, 1770S dan 1770SS part 2.

Best Regard,
 
DConsulting Public Consultant
Accounting-Tax-System-Finance Consultant
Total Solution For Your Business Growth