Kamis, 28 Mei 2015

IT Staff

INGIN PERKERJAAN DAN KARIR YANG LEBIH BAIK ??? CHECK IT OUT !!!



IT Staff

(Link Jobstreet.com)


LOWONGAN KERJA IT STAFF DI D'CONSULTING BUSINESS CONSULTANT (DBC)


Mengapa harus melamar ditempat kami ?
  • Kami adalah perusahaan konsultan dimana sejauh ini sudah memiliki klien diseluruh Indonesia dengan skala perusahaan Nasional. Tentunya banyak pengalaman dan ilmu yang dapat anda pelajari dari pada hanya bekerja di perusahaan biasa
  • Kami adalah satu-satunya Konsultan yang memberikan bonus tahunan berupa liburan keluar negeri
  • Kami memberikan salary diatas rata-rata perusahaan pada umumnya (termasuk tunjangan transportasi, makan, asuransi, dsb)
  • Untuk tingkat dan periode kerja tertentu akan mendapatkan bonus tahunan, fasilitas kendaraan dan tempat tinggal
  • THR, dan lain-lain

Persyaratan yang dibutuhkan sebagai berikut :
  • Pria / Wanita usia maksimal 35 tahun
  • Pendidikan terakhir minimal SMK jurusan IT / Komputer / Web Design / jurusan lain yang sejenis
  • IPK minimal 2,75
  • Memiliki keahlian dibidang Adobe Photoshop, Corel Draw, Flash, Literature Komputer
  • Memiliki keahlian dibidang web design, internet literature, internet aplication development
  • Memiliki keahlian dibidang software design and development
  • Pelamar fresh graduate diperbolehkan ataupun sudah pernah bekerja akan jauh lebih baik
  • Bisa menggunakan bahasa Inggris dan indonesia dengan baik
  • Bertanggungjawab, jujur, memiliki etika yang baik dan mau belajar
  • Bersedia ditempatkan di Surabaya
  • 3 Posisi tersedia

Kirimkan lamaran kerja lengkap anda ke recruitment.dconsultingbc@gmail.com
Untuk mengetahui lebih lengkap profile perusahaan kami silakan mengunjungi website kami di www.dconsultingbusinessconsultant.com / www.dconsulting-accountant.com dan bergabunglah dengan newsletter kami.



Kamis, 16 Februari 2012

REGISTRASI ULANG PENGUSAHA KENA PAJAK TAHUN 2012

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER - 05/PJ/2012

TENTANG

REGISTRASI ULANG PENGUSAHA KENA PAJAK TAHUN 2012

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan, penertiban administrasi, pengawasan, dan untuk menguji pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif Pengusaha Kena Pajak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.03/2008 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-161/PJ/2001 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-160/PJ/2007;
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2010;


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG REGISTRASI ULANG PENGUSAHA KENA PAJAK TAHUN 2012.


Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
  1. Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak adalah suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan, penertiban administrasi, pengawasan, dan untuk menguji pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif Pengusaha Kena Pajak.
  2. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/ mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.


Pasal 2

(1) Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak terdaftar.
(2) Jangka waktu pelaksanaan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak dimulai sejak Februari 2012 sampai dengan 31 Agustus 2012.
(3) Registrasi Ulang Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dilakukan untuk seluruh Pengusaha Kena Pajak terdaftar.


Pasal 3

(1) Dalam rangka Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Verifikasi.
(3) Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria tertentu.
(4) Verifikasi yang dilakukan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk mengetahui apakah Wajib Pajak benar-benar tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.


Pasal 4

(1) Persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dipenuhi apabila Pengusaha Kena Pajak merupakan Pengusaha.
(2) Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
(3) Persyaratan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dipenuhi apabila Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud.


Pasal 5

(1) Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), yaitu:
  1. Pengusaha Kena Pajak yang telah dipusatkan tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai di tempat lain;
  2. Pengusaha Kena Pajak yang pindah alamat ke wilayah kerja kantor Direktorat Jenderal Pajak lainnya; atau
  3. Pengusaha Kena Pajak yang sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu:
  1. Pengusaha Kena Pajak dengan status tidak aktif (Non Efektif);
  2. Pengusaha Kena Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2011 sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  3. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN yang Pajak Keluaran dan Pajak Masukannya nihil untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2011 sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  4. Pengusaha Kena Pajak, yang pada Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2011 sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang pada bagian periode tersebut tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN atau menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN yang Pajak Keluaran dan Pajak Masukannya nihil;
  5. Pengusaha Kena Pajak yang tidak ditemukan pada waktu pelaksanaan Sensus Pajak Nasional; atau
  6. Pengusaha Kena Pajak yang tidak diyakini keberadaan dan/atau kegiatan usahanya.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang tidak diyakini keberadaan dan/atau kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, yaitu:
  1. Pengusaha Kena Pajak yang tidak dilakukan kunjungan (visit) dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terakhir sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  2. Pengusaha Kena Pajak yang tidak dilakukan pemeriksaan PPN dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terakhir sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini; atau
  3. Pengusaha Kena Pajak yang tidak dilakukan konfirmasi lapangan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2010 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak dan perubahannya.
(4) Dikecualikan dari Pengusaha Kena Pajak yang tidak diyakini keberadaan dan/atau kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f adalah Pengusaha Kena Pajak yang ditemukan keberadaannya dan diyakini kegiatan usahanya pada waktu pelaksanaan Sensus Pajak Nasional.


Pasal 6

(1) Pelaksanaan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012 diatur dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Hasil pelaksanaan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil Verifikasi sebagaimana diatur dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Apabila berdasarkan laporan hasil Verifikasi diketahui bahwa Pengusaha Kena Pajak termasuk dalam kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) maka kepada Pengusaha Kena Pajak tersebut diterbitkan Surat Pencabutan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(4) Laporan hasil Verifikasi, kertas kerja, dan dokumen pendukung Verifikasi disatukan dan disimpan dalam berkas induk Wajib Pajak.


Pasal 7

(1) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak agar:
  1. memantau pelaksanaan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012 dan memastikan bahwa hasil Verifikasi memenuhi tujuan yang diharapkan.
  2. memantau tindak lanjut atas kesimpulan yang tertuang dalam laporan hasil Verifikasi.
  3. membuat laporan rekapitulasi hasil Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012 kepada Direktur Jenderal Pajak u.p. Direktur Peraturan Perpajakan I setiap bulan dan menyampaikannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
(2) Laporan rekapitulasi hasil Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012 dibuat dalam format sebagaimana diatur dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


Pasal 8

(1) Dalam hal kemudian diperoleh data dan/atau informasi bahwa Wajib Pajak yang telah dicabut Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak-nya ternyata memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, maka Surat Pencabutan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dibatalkan.
(2) Untuk membatalkan Surat Pencabutan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan Verifikasi kembali.
(3) Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam laporan hasil Verifikasi.
(4) Berdasarkan laporan hasil Verifikasi dibuat berita acara Verifikasi sebagaimana diatur dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Berita acara Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak unit vertikal di atas Kantor Pelayanan yang bersangkutan untuk mendapatkan persetujuan.
(6) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak mengirimkan berita acara Verifikasi yang telah disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Direktur Teknologi Informasi Perpajakan untuk ditindaklanjuti.
(7) Direktur Teknologi Informasi Perpajakan setelah menindaklanjuti berita acara Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengirimkan pemberitahuan atas tindak lanjut berita acara Verifikasi kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan ditembuskan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
(8) Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan pemberitahuan mengenai status pengukuhan Pengusaha Kena Pajak kepada Wajib Pajak.


Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Februari 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Kamis, 29 Desember 2011

TATA CARA PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER - 38/PJ/2011

TENTANG

TATA CARA PENGANGSURAN DAN
PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum terkait pengangsuran dan penundaan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan serta meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak;
  2. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, terhadap ketentuan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  3. Bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 mengenai pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;

Mengingat

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 167/PMK.03/2007 tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010;


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.


Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  2. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  3. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
  4. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat dengan SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang kepada Wajib Pajak.
  5. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang PBB.
  6. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan STP PBB adalah Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang PBB.
  7. Utang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Utang PBB adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang masih harus dibayar termasuk denda administrasi yang tercantum dalam SPPT, SKP PBB, dan/atau STP PBB.
  8. Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang selanjutnya disebut dengan KPP Pratama adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tempat objek pajak terdaftar.
  9. Tahun Pengalihan adalah tahun dialihkannya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, paling lambat tahun 2014.


Pasal 2

Utang PBB yang tercantum dalam:
  1. SPPT, harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak;
  2. SKP PBB, harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak;
  3. STP PBB, harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP PBB oleh Wajib Pajak.


Pasal 3

(1) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu STP PBB yang terbit akibat pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang PBB.
 

Pasal 4

Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diajukan oleh Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas, kesulitan keuangan, atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.


Pasal 5

(1) Pengangsuran atas pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan dengan ketentuan:
  1. jangka waktu pengangsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya surat keputusan dengan pengangsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan; dan
  2. masa pengangsuran dimulai setelah jatuh tempo SPPT, SKP PBB, atau STP PBB.
(2) Penundaan atas pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya surat keputusan.
(3) Dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan akan dialihkan menjadi pajak daerah, jangka waktu pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang PBB dapat diberikan paling lama sampai dengan akhir Desember sebelum Tahun Pengalihan.


Pasal 6

(1) Besarnya pembayaran angsuran atas Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan dalam jumlah yang sama besar untuk setiap angsuran.
(2) Besarnya pelunasan atas penundaan pembayaran Utang PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan sebesar Utang PBB yang ditunda pembayarannya.


Pasal 7

Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus memenuhi persyaratan:
a. satu surat permohonan untuk satu SPPT, SKP PBB, atau STP PBB;
b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Pratama, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan;
c. mencantumkan:
  1. jumlah Utang PBB yang dimohonkan pengangsuran pembayarannya, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau
  2. jumlah Utang PBB yang dimohonkan penundaan pembayarannya dan jangka waktu penundaan;
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP;
e. diajukan paling lambat 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, kecuali apabila Wajib Pajak atau kuasanya dapat menunjukkan bahwa batas waktu pengajuan tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;
f. tidak memiliki tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan tahun-tahun sebelumnya;
g. dilampiri fotokopi SPPT, SKP PBB, atau STP PBB, yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan.


Pasal 8

(1) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala KPP Pratama, kecuali apabila Kepala KPP Pratama menganggap tidak perlu.
(2) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, dan/atau sertifikat deposito.


Pasal 9

(1) Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dianggap bukan sebagai surat permohonan pengangsuran atau penundaan sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
(2) Dalam hal permohonan pengangsuran atau penundaan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP Pratama dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus memberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari kepada Wajib Pajak atau kuasanya.
(3) Dalam hal permohonan pengangsuran atau penundaan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan kembali sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.


Pasal 10

(1) Setelah meneliti dan mempertimbangkan permohonan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Kepala KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat permohonan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(3) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala KPP Pratama tidak memberikan keputusan, permohonan dianggap diterima dan diterbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.
(4) Dalam hal permohonan dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jangka waktu pengangsuran atau penundaan ditetapkan paling lama sesuai ketentuan dalam Pasal 5 dan besarnya pembayaran pengangsuran atau penundaan pembayaran ditetapkan sesuai ketentuan dalam Pasal 6.


Pasal 11

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak diterima untuk mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) atau dianggap diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), atas Utang PBB yang tercantum dalam SPPT atau SKP PBB yang belum dilunasi dikenai sanksi administrasi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang PBB.
(2) Denda administrasi yang timbul akibat pengangsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan saldo Utang PBB.
(3) Denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditagih dengan menerbitkan STP PBB atas denda administrasi pada setiap tanggal jatuh tempo pengangsuran atau tanggal jatuh tempo penundaan.


Pasal 12

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, pengurangan, pembetulan, banding, atau peninjauan kembali atas ketetapan atau keputusan terkait Utang PBB yang telah diterbitkan keputusan pengangsuran atau penundaan pembayaran, keputusan pengangsuran atau penundaan tersebut tetap berlaku dan Wajib Pajak wajib melunasi sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.


Pasal 13

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang PBB belum diterbitkan suatu keputusan, dan kepada Wajib Pajak dimaksud diterbitkan surat ketetapan/keputusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga (SKPIB), kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan Utang PBB dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tidak mencukupi untuk melunasi Utang PBB yang diajukan permohonan pengangsuran atau penundaan, jumlah Utang PBB yang dipertimbangkan untuk diberikan keputusan pengangsuran atau penundaan adalah jumlah Utang PBB setelah dikurangi dengan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 14

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang PBB sudah diterbitkan suatu keputusan, dan kepada Wajib Pajak dimaksud diterbitkan surat ketetapan/keputusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga, kelebihan pembayaran dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan sisa Utang PBB yang belum diangsur atau ditunda pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi untuk melunasi sisa Utang PBB yang telah diterbitkan keputusan pengangsuran, besarnya angsuran dan/atau masa angsuran dari sisa Utang PBB tersebut harus ditetapkan kembali dengan ketentuan :
  1. besarnya angsuran dan denda administrasi setiap masa angsuran tidak lebih dari besarnya angsuran dan denda administrasi yang telah ditetapkan dalam surat keputusan sebelumnya; dan
  2. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah ditetapkan dalam surat keputusan sebelumnya.
(3) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi untuk melunasi Utang PBB yang ditunda, Wajib Pajak tetap berhak melunasi Utang PBB tersebut paling lama sesuai dengan jangka waktu penundaan.


Pasal 15

(1) Dalam hal diterbitkan suatu keputusan atau putusan yang menyebabkan Utang PBB menjadi lebih besar atau lebih kecil atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang telah diterbitkan keputusan pengangsuran pembayaran Utang PBB berupa menerima seluruhnya atau menerima sebagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), masa dan besarnya angsuran dari saldo Utang PBB ditetapkan kembali dengan ketentuan:
  1. besarnya angsuran dan denda administrasi setiap angsuran disesuaikan; dan
  2. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disetujui.
(2) Dalam hal diterbitkan suatu keputusan atau putusan yang menyebabkan Utang PBB menjadi lebih besar atau lebih kecil atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang telah diterbitkan keputusan penundaan pembayaran Utang PBB berupa menerima seluruhnya atau menerima sebagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Wajib Pajak tetap wajib melunasi Utang PBB tersebut sesuai dengan jangka waktu penundaan.


Pasal 16

(1) Penetapan kembali besarnya angsuran dan/atau masa angsuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1) dilakukan dengan prosedur:
  1. Kepala KPP Pratama memberitahukan kepada Wajib Pajak atau kuasanya mengenai perubahan saldo Utang PBB serta permintaan usulan perubahan pengangsuran;
  2. Wajib Pajak atau kuasanya harus menyampaikan usulan perubahan pengangsuran paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
  3. Kepala KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan perubahan keputusan pengangsuran pembayaran PBB berdasarkan usulan yang disampaikan oleh Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya usulan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b Kepala KPP Pratama tidak menerima usulan perubahan pengangsuran dari Wajib Pajak, Kepala KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan perubahan keputusan pengangsuran pembayaran PBB secara jabatan dengan ketentuan:
  1. besarnya angsuran adalah saldo Utang PBB dibagi dengan sisa masa angsuran; dan
  2. masa angsuran adalah sisa masa angsuran yang telah disetujui.


Pasal 17

(1) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengangsuran Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penundaan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Pengangsuran Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Bentuk format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Pengangsuran Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Secara Jabatan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


 Pasal 18

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PENYESUAIAN BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PALING TINGGI 24 JUTA!

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 67/PMK.03/2011

TENTANG

PENYESUAIAN BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa untuk menyesuaikan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan perkembangan ekonomi, moneter dan harga umum objek pajak, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  2. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYESUAIAN BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.


Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
  1. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan PBB adalah Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  2. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang selanjutnya disingkat dengan NJOPTKP adalah batas Nilai Jual Objek Pajak yang tidak kena pajak.
  3. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat dengan NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.


Pasal 2

(1) Dasar pengenaan PBB adalah NJOP.
(2) NJOPTKP untuk setiap Wajib Pajak ditetapkan paling tinggi sebesar Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 3

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan NJOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) untuk masing-masing kabupaten/kota dengan mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat.


Pasal 4

Bentuk formulir Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak mengenai penetapan besarnya NJOPTKP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.


Pasal 5

Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, penetapan besarnya PBB terutang untuk Tahun Pajak 2011 dan untuk tahun sebelumnya, tetap menggunakan NJOPTKP sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.


Pasal 6

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 7

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

  


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2011
MENTERI KEUANGAN,
                        
ttd.
                        
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
                        

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

Senin, 26 Desember 2011

PELAYANAN KEPADA WAJIB PAJAK DALAM UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN SEHUBUNGAN DENGAN AKHIR TAHUN ANGGARAN 2011

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : SE - 92/PJ./2011

TENTANG

PELAYANAN KEPADA WAJIB PAJAK DALAM UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN
SEHUBUNGAN DENGAN AKHIR TAHUN ANGGARAN 2011

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-73/PB/2011 tanggal 3 Nopember 2011 tentang Langkah-Langkah Dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2011 dan untuk mengantisipasi pelayanan kepada Wajib Pajak dalam upaya pengamanan penerimaan Tahun Anggaran 2011, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Terkait dengan penerimaan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Perbendaharaan telah memerintahkan sebagai berikut :
  1. Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi mulai tanggal 21 Desember s.d. 30 Desember 2011 membuka penuh loket penerimaan setoran sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat;
  2. Khusus untuk penerimaan PBB, Bank/Pos Persepsi mulai tanggal 21 Desember s.d. 29 Desember 2011 membuka penuh loket penerimaan sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat;
  3. Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi melimpahkan penerimaan negara (kecuali PBB) setiap akhir hari kerja ke rekening SUBRKUN KPPN Nomor 501.00000x.xxx pada Bank Indonesia dan sudah harus diterima di rekening tersebut pukul 17.30 waktu setempat;
  4. Bank/Pos Persepsi melimpahkan penerimaan PBB ke BO III PBB setiap hari kerja mulai tanggal 21 Desember s.d. 29 Desember 2011 paling lambat pukul 16.30 waktu setempat.
2. Untuk pelayanan kepada Wajib Pajak dan upaya pengamanan penerimaan, agar para kepala kantor :
  1. Berkoordinasi dengan Bank/Pos Persepsi mengenai hal tersebut pada butir 1 di atas;
  2. Mengingatkan kepada para Wajib Pajak bahwa Bank/Pos Persepsi buka untuk menerima pembayaran sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat mulai tanggal 21 Desember 2011 s.d. 30 Desember 2011, kecuali untuk penerimaan PBB pada tanggal 21 Desember 2011 s.d. 29 Desember 2011 buka sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat.
3. Menindaklanjuti Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.05/2009 tanggal 4 Nopember 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan dan Pengeluaran Negara Pada Akhir Tahun Anggaran, dengan ini diminta kepada Kepala Kantor Wilayah DJP untuk melakukan koordinasi dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi di seluruh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi mitra kerja KPPN pada akhir tahun anggaran. Apabila diperlukan, Kepala Kantor Wilayah DJP dapat membentuk tim bersama dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
4. Penentuan tanggal jatuh tempo pelaporan pajak, berpedoman kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan sebaik-baiknya.




Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL,

Rabu, 19 Oktober 2011

Ditjen Pajak gandakan target sensus pajak

Harian Kontan, 19 Oktober 2011
JAKARTA. Guna mendongkrak penerimaan pajak tahun depan, Kementerian Keuangan akan menggenjot penambahan target jumlah wajib pajak yang dijaring melalui sensus pajak. Dirjen pajak meningkatkan target penambahan wajib pajak baru dua kali lipat dari target awal.

Sebelumnya, Ditjen Pajak menargetkan ada tambahan enam juta wajib pajak baru dari program sensus pajak yang berlangsung hingga Desember 2012. Dengan demikian kini Ditjen Pajak menargetkan hingga mencapai 12 juta wajib pajak baru setelah program sensus pajak berakhir.

Demi mencapai itu, Dirjen Pajak juga akan menambah jumlah petugas sensus pajak menjadi 6.000 orang pada tahun depan. "Sensus pajak akan saya perbesar skalanya," kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rachmany, di Jakarta, Selasa (18/10).

Saat ini Ditjen Pajak telah memiliki sekitar 3.000 orang petugas sensus pajak untuk melakukan sensus pajak dengan target sensus sebesar 1,5 juta formulir wajib pajak hingga akhir tahun ini. Target ini pun bertambah dua kali lipat menjadi tiga juta formulir sampai akhir tahun.

Target ini terbilang tinggi. Sebab selama satu pekan sejak 1 Oktober 2011, petugas sensus pajak masih menghadapi sejumlah kendala. Antara lain, petugas di kawasan perdagangan belum bisa menemui pemilik toko. Akibatnya formulir sensus yang terisi hanya 50.000 formulir selama sepekan di tingkat nasional.

Dari 50.000 formulir yang terkumpul, sekitar 52% di antaranya diisi oleh wajib pajak di tempat dan langsung dikembalikan ke petugas sensus. Sedang sisanya yang 48% dititipkan ke pelayan atau karyawan karena pemilik toko tak ada di tempat. "Bahkan banyak juga pemilik yang tidak bisa ditemui sama sekali karena tokonya tutup. Entah ditutup karena takut akan disensus atau memang belum buka," kata Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Hartoyo, pekan lalu (12/10).

Catatan saja, pemerintah dan Banggar DPR sepakat menetapkan rasio pajak dalam RAPBN 2012 sebesar 12,72 % dari produk domestik bruto (PDB). Rasio pajak ini meningkat ketimbang usulan awal pemerintah dalam RAPBN 2012 sebesar 12,6%. Angka rasio pajak ini juga lebih tinggi dari angka rasio pajak dalam APBN Perubahan 2011 yang sebesar 12,2%. Dengan tambahan rasio pajak tersebut, penerimaan perpajakan tahun depan bakal menjadi Rp 1.032,53 triliun.

Anggaran sensus pajak nasional hingga Desember 2012 sebesar Rp 226 miliar. Anggaran tersebut mencakup biaya pelaksanaan sensus pajak Rp 211,2 miliar. Sisanya Rp 14,8 miliar akan diperuntukkan bagi honorarium personel sensus non pegawai.

Senin, 03 Oktober 2011

SENSUS PAJAK NASIONAL

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 149/PMK.03/2011

TENTANG

SENSUS PAJAK NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka pendataan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan guna memperluas basis pajak, perlu dilakukan pengumpulan data berbasis objek pajak;
  2. bahwa kegiatan pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada huruf a, dilakukan melalui sensus pajak nasional yang merupakan salah satu program penggalian potensi perpajakan guna pengamanan penerimaan negara dan pencapaian target penerimaan perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2011, sebagaimana diamanahkan dalam Pidato Presiden pada tanggal 16 Agustus 2011 dalam penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Sensus Pajak Nasional;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
          

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
  
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SENSUS PAJAK NASIONAL.
    

Pasal 1

(1) Sensus pajak nasional diselenggarakan melalui kegiatan pendataan objek pajak dalam rangka pengumpulan data perpajakan.
(2) Sensus pajak nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu program penggalian potensi perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak, pencapaian target penerimaan perpajakan dan pengamanan penerimaan negara.
(3) Penyelenggaraan sensus pajak nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dapat bekerja sama dengan pihak lain.


Pasal 2

(1) Penyelenggaraan sensus pajak nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dilakukan dengan cara mendatangi subjek pajak di lokasi subjek pajak.
(2) Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi dan badan.
(3) Lokasi subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah domisili, tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukan dari subjek pajak.
(4) Penyelenggaraan sensus pajak nasional dilakukan di seluruh wilayah Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.


Pasal 3

(1) Dalam rangka penyelenggaraan sensus pajak nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Menteri Keuangan membentuk tim sensus pajak nasional yang terdiri dari:
  1. tim pada tingkat pusat;
  2. tim pada tingkat kantor wilayah; dan
  3. tim pada tingkat kantor pelayanan pajak.
(2) Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menggunakan tenaga non Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak untuk jangka waktu tertentu.


Pasal 4          

Data perpajakan yang diperoleh dari hasil penyelenggaraan sensus pajak nasional, ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    

Pasal 5
          
Ketentuan mengenai pedoman teknis dalam rangka penyelenggaraan sensus pajak nasional diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
    

Pasal 6          

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2012.
          
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
                            



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 September 2011
MENTERI KEUANGAN,
                              
ttd.
                              
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
                              

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 September 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,   
      
ttd.     
      
PATRIALIS AKBAR